Dari Tatakan Gelas Berakhir Di Meja Hijau


source: http://print.kompas.com/
Weekend ini gue lewati seperti biasa, membuka mata dari tidur dan ngecek pesan masuk di HP. Tak lupa gue inget-inget ada janji apa gue hari ini. Berawal dari iseng lihat berita online di internet di mana gue sendiri sebetulnya jarang nonton TV lebih sering main internet, gue kembali cukup shock lihat berita gokil. Belum lepas ingatan gue tentang beras plastik, ijazah palsu di kampus abal-abal, eh ini kasus yang bukan kepalang kembali muncul. 

Dan, nggak gue kira kasus yang diadilin bukan lagi soal korupsi, atau pembunuhan. Tapi, kasus sebuah tatakan gelas. Iya tatakan gelas, iya tatakan gelas, kok. Lo nggak salah baca. "Anjrit!" Begitulah ekspresi kali pertama gue baca judul berita itu. Gue yang tadinya kebelut ke belakang, tiba-tiba terdiam dan nggak nyangka keulang lagi kasus-kasus remeh-temeh model gini turun di meja hijau.

Jujur gue bingung, kenapa sih dengan masyarakat kita. Ada apa dengan mereka. Emangnya nggak bisa pake jalur kekeluargaan tanpa ngelibatin polisi sampai turun ke meja hijau. Apa mungkin guenya yang kura peka lihat masalah ini. Tapi, kalau dipikir-pikir mungkin bagi mereka sebuah tatakan gelas ibaratnya harga diri yang patut diperjuangkan. Patut untuk dijadikan alasan mereka ngotot. Ah, nggak abis pikir, gue.

Buat lo yang belum tahu kasusnya seperti apa awalnya, nih gue jelasin lewat tulisan gue ini. Kasus ini bermula ketika kedua pedagang kopi di Pasar Pasir Gading, yakni Marlis dan Sarniti berselisih paham akibat tatakan gelas yang digunakan alas untuk minum kopi diambil oleh salah satu dari mereka. Marlis menuding kalau Sarniti mengambil sebuah tatakan gelas yang ia temukan di lapak Sarniti adalah miliknya. Tapi, Sarniti menjawab bahwa ia tidak sengaja dan salah mengambil tatakan gelas itu dari pelanggan kopi. Tak terima dengan jawaban dari Sarniti, Marlis terbakar emosi dan adu mulutpun tak terhindar antar keduanya. Adu mulut tersebut berujung pada tindakan penganiayaan yang dilakukan Marlis. Marlis yang terbakar emosi sempat mendorong kepala dan menarik jilbab Sarniti. Marlis juga melempar satu sisir pisang ke gerobak Sarniti sehingga kaca gerobak milik Sarniti pecah.

Tak terima dengan tindakan Marlis yang merusak gerobaknya. Sarniti kemudian melaporkan Marlis kepada polisi dengan tuduhan perusakan dan penganiayaan. Melihat hal itu, Marlis juga tak tinggal diam, ia pun turut melaporkan Sarniti kepada polisi dengan tuduhan pencurian dan penghinaan.

Namun karena laporan Sarniti lebih dahulu diterima, maka pengaduan Marlis ditunda. Laporan Sarniti kemudian diproses lebih awal berujung pada vonis 1 bulan penjara dipotong masa tahanan menjadi 1 minggu dan wajib lapor dua kali dalam seminggu.

Seusai menjalani hukumanannya, Marlis kembali memperkarakan Sarniti. Marlis kembali mengadukan kasusnya. Marlis tidak terima dirinya dipenjara karena pengaduan Sarniti. "Saya hanya ingin dia (Sarniti) merasakan apa yang saya rasakan. Dia juga bersalah. Saya berharap dia mendapatkan hukuman yang sesuai dengan pasal yang dikenakan. Dia jelas-jelas menghina saya dan mencuri tatakan gelas saya," tutur Marlis dalam wawancara kepada wartawan Kompas.com (dikutip dari kompas.com)

Sampai di meja persidangan Sarniti tetap tegar menghadapi proses persidangan yang memaksa ia duduk sebagai terdakwa. Namun, hakim berkata lain Sarniti tidak mendapat hukuman sesuai apa yang diharapkan Marlis karena kesaksian dari ketiga saksi yang dihadirkan di pengadilan tidak meyakinkan bahwa Sarniti sengaja mencuri tatakan gelas. 

Sesuai hakim mengetuk palu tanda ditutupnya
source: http://regional.kompas.com/
sidah, Sarniti langsung bersujud syukur di depan hakim. Tangisnya tak terbendung. Sesaat kemudian ia menghampiri kuasa hukumnya, Nurul Hidayah dengan pelukan erat karena telah membantu jalannya persidangan.






source: http://lampung.tribunnews.com/
Setelah kasus ini, Sarniti berencana kembali berjualan dan tetap menjalin pertemanan dengan Marlis tanpa niat jahat ataupun dendam. Namun, dipihak lain, Marlis tampak tidak puas dengan keputusan hakim. 

Di luar gedung pengadilan, Marlis menangis histeris menyampaikan kekesalannya hingga ia jatuh pingsan, lalu dibawa pulang ke rumahnya.


Dari kasus itu gue prihatin banget sama pola pikir masyarakat. Dan, hal ini juga sampe membuat Wali Kota Bandar Lampung Herman HN turun tangan untuk kasus sepele ini. Yang jadi pertanyaan selanjutnya apakah kita semakin terbelakang di era modern saat ini atau justru kita semakin kehilangan hati nurani, etika, dan keyakinan bahwa semua persoalan dapat dibicarakan dengan baik dibanding memperjuangkan emosi?

Padahalkan, sayang banget mereka jadi sama-sama rugi karena nggak berjualan akibat waktunya dihabiskan dimeja persidangan.